Mau Jadi Pengurus itu artinya Mau Jadi NU Seutuhnya

Perlu diketahui bersama, bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama yang mashur disebut NU bukan sekedar formalitas baku seperti mesin kendaraan metik yang itu dan begitu saja. Namun, NU dengan latar belakang santri, kiai dan pesantren hadir dan tumbuh hingga berusia seabad lebih ini merupakan wujud nyata gerakan para Kiai yang mengusung cita-cita peradaban.

M. Ilman nafia - Lakpesdam

5/29/20256 min baca

nubatik.org - Perlu diketahui bersama, bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama yang mashur disebut NU bukan sekedar formalitas baku seperti mesin kendaraan metik yang itu dan begitu saja. Namun, NU dengan latar belakang santri, kiai dan pesantren hadir serta tumbuh hingga berusia seabad lebih ini merupakan wujud nyata dari gerakan para Kiai yang mengusung cita-cita peradaban.

Sejak kelahiranya, para pengurus NU itu disebut dengan istilah Muharrik yang bermakna penggerak. Hal ini bisa kita lihat diatas batu nisan seorang mulia Almaghfurlah KH. Wahab Hasbullah, tertulis Penggerak Nahdlatul Ulama. Ini semua bukan kebetulan, melainkan menggambarkan situasi dan kondisi perjuanganya saat berkeliling kepelosok Nusantara untuk konsolidasi menyambut lahirnya NU dengan harta dan benda pribadi yang rela beliau lakukan tanpa proposal.

Dari sini bisa dipahami, bahwa menjadi pengurus di NU bukanlah sesuatu yang patut dikejar apalagi diperebutkan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PBNU Gus Yahya menyebutkan menjadi pengurus NU apalagi pimpinan itu tidaklah wajib. Kalaupun tidak mau juga tidak apa-apa dan tidak dosa. Bahkan sebaliknya, jangan sampai siapapun dari kita sampai merasa NU tidak akan bisa eksis dan kalau tidak diurus oleh anda seorang. Ini bisa kuawat kuadrat. Karena sejatinya, NU menurut keyakinan para muharrik-nya menjadi pengurus itu justru berharap keberkahan dari para kiai yang memiliki nutfah nubuwwah dalam melakukan misi keulamaan dari Nabi.

Hal ini sebagaimana dawuh Rais Akbar NU, Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy'ari. "Siapa yang mau ngurus NU, maka aku anggap sebagai santriku. Dan siapa yang menjadi santriku, maka aku do'akan Khusnul Khotimah beserta anak cucunya" masya Allah kemuliaan besar bagi kita untuk menjadi santri beliau.

Bahkan tidak berhenti disitu saja, keberkahan bagi orang yang mau dengan iklas menjadi pengurus dan penggerak NU juga dijamin oleh pencetus lambang NU yang mulia Almukarrom KH. Ridlwan Abdullah. Dengan penuh keyakinan, beliau mengatakan. "Jangan takut tidak bisa makan kalau berjuang mengurus NU. Yakinlah, kalau sampai tidak makan, tegur aku jika aku masih hidup. Tapi kalau kalau aku sudah mati, tagihlah kebatu nisanku," Allahu akbar membuat bulu kuduk kita berdiri membacaya.

Oleh karena itu, bagi kita semua yang ingin menjadi santrinya Hadratus Syekh dan para muassis (pendiri) NU seperti KH. Ridlwan Abdullah maupun Mbah KH. Wahab Hasbullah sangat perlu untuk memahami menjadi NU seutuhnya.

Memahami NU Sebagai Jam'iyyah

Apa yang telah dilakukan oleh para muassis dan muharrik NU sejati, seperti Al Alamah KH. Abdul Wahab Hasbullah yang akrab disapa Mbah Wabah dan para Kiai pada waktu itu. Berada dalam satu perjuangan di NU itu, hanya dalam rangka khidmah untuk menghadirkan NU sebagai kekuatan kultural merawat nilai-nilai luhur dan NKRI sebagai titik-tolak sosial-politik untuk terlibat dalam pergulatan antar bangsa.

Sehingga, Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyyah sejak berdirinya hingga sekarang digerakan oleh para muharrik-nya berjuang mati-matian penuh pengorbanan ini, tidak pernah bergeser dari perjuangan demi untuk memperjuangkan nilai madzhab Ahlussunah Wal Jama'ah dan menyangga kokohya NKRI melalui pemberdayaaan jama’ah.

Persoalan ini juga sudah sering di warning oleh Ketum PBNU, Gus Yahya, seperti di acara Upgreading Instruktur PD-PKPNU di Pon Pes Al Itqon Bugen Semarang pada bulan Mei 2025 kemarin. Keberadaan NU sebagai Jam'iyyah ini, bisa diartikan sebagai strategi menuju cita-cita yang dibangun dengan konsolidasi basis, yaitu memberdayakan jama’ah (komunitas) sebagai kekuatan kultural untuk merawat nilai-nilai luhur Aswaja NU dan NKRI inilah menjadi titik tolak sosial-politik NU untuk terlibat dalam pergulatan antar bangsa.

Oleh karena itu, untuk melakukan misi besar ri'ayatul umah (melayani umat) dengan jargon Merawat Jagad, Membangun Peradaban yang diusung Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU. Harus diawali dengan koherensi jam'iyyah atau keterpaduan seluruh gerak dalam NU disemua tingkat lokal dan nasional maupun disemua level dan nevenya dalam satu nalar pengabdian yang diwariskan para kiai-kiai NU terdahulu kedalam konstruksi organisasi NU saat.

Menyadari Kontruksi Koherensi Organisasi NU

Dalam satu dasawarsa ini, telah banyak terjadi transformasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak terkecuali transformasi gerakan di dalam kontruksi organisasi NU sebagai kekuatan civil society, terlebih jika dilihat sejak era pra kemerdekaan, kemudian era pasca berdirinya NKRI hingga zaman Reformasi. Setidaknya, saya mencatat ada empat jenis perubahan yang membutuhkan kecermataan para muharrik NU untuk membaca, mencermati dan memahaminya.

Pertama, perubahan peradaban. Hal ini dapat kita lihat dari hal yang paling mencolok, yakni perubahan identitas beragama. Dimana umat beragama sampai hari ini masih ada yang tidak bisa lepas dari konflik beragama, padahal agama hadir sebagai ketenangan hidup bagi pemeluknya. Fakta ini sudah jelas bukan salah dari sebuah nilai ajaranya, melainkan ada perubahan kontruksi dati segi pengelolaanya.

Maka sudah tidak bisa ditawar, seorang muharrik NU harus memiliki nalar otentik (sanad perjuangan) yang dibawa oleh para Kiai dalam berjam'iyyah. Bukan hanya cukup dengan sekedar pribadi alim dan solih sebagai santri dari seorang Kiai NU yang telah hadir dimasyarakat sebagai tokoh potensial, atau aktifis kawakan yang sudah malang melintang berjam'iyyah disemua level atau nevenya.

Semua ini bukan berarti mengajak kita untuk tidak menghormati tokoh atau tidak menghargai pengabdian orang, akan tetapi ini tentang keharusan untuk menjemput kontruksi masa depan NU sebagai Jam'iyyah yang koheren.

Kedua, perubahan dalam demografi atau perubahan komposisi. Hal bisa kita lihat disatu daerah misalnya, dahulu penduduknya di satu wilayah seragam, namun sekarang menjadi beragam tentunya akan memunculkan perhatian. Jika komunitas masyarakatnya bertambah, maka harus memikirkan bagaimana memberikan setimulus dan pemberdayaan. Namun jika masyarakatnya berkurang, maka akan muncul konflik baru yang memerlukan usaha penanganan.

Sehingga muharrik NU saat ini, harus memiliki kemampuan diri untuk mengkonfigurasikan agenda jam'iyyah kedalam konteks realitas kekinian dan masa depan. Bukan pribadi yang mampu berpidato dengan keras atau sambutan yang menyenangkan bahkan suara kritis yang dilontarkan, namun muharrik NU ditengah pergeseran komposisi ini harus totalitas secara tenaga, pikiran dan harta benda untuk khidmah jam'iyyah sebagaimana dilakukan oleh muassis NU.

Ketiga, perubahan dalam standar norma atau praktik dimasyarakat. Hal ini bisa kita lihat pada peristiwa di masa lalu misalnya, tentu akan menjadi sebuah nostalgia dan kebahagiaan untuk kita kenang. Namun jika peristiwa itu dipaksa untuk dilakukan dalam situasi sekarang, bisa jadi bukan hal baik dan menjadi sejarah yang akan terulang dan bisa jadi justru akan menjadi konflik baru yang susah untuk diredam.

Untuk itu, muharrik NU dalam situasi perubahan sandart norma atau praktik dimasyarakat tidak hanya sekedar sudah pernah menjabat di level atau dinevenya dianggap teruji. Justru dianggap ideal atau tidak seorang muharrik itu betul-betul memiliki legacy dan kekuatan untuk menggerakan standart norma dan praktik dimasyarakat yang sekarang ini sangat kapital. Hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Ulama' Mujaddid tidak menjabat sebagai nahkoda di taswirul afkar atau nahdlatut tujar, namun beliau hadir sebagai pengendali utama para Kiai sebagai standart norma. Bahkan hadirnya H. Hasan Gipo yang dikenal sebagai saudagar, sebetulnya saya yakin beiau juga seorang ulama namun tidak tampil sebagai ulama. Bayangkan saja kita hari ini yg punya santri, pengajian di masjid ada dihadapan Rais Aam PBNU KH. Miftahul Akhyar misalnya. Apakah ingin dmenampakan diri agar diundang ustadz atau kiai? Tentu tidak, apalagi dihadapan dang Hadratus Syekh siapapun akan memilih memegang adab. Sehingga hadirnya H Hasan Gipo waktu itu menjadi kombinasi apik mendampingi Hadrafus Syekh sebagai pelaksana pada praktiknya dimasyarakat.

Terakhir yang keempat, perubahan karena globalisasi atau hilangnya skat-skat di masyarakat. Jika direnungkan sebentar saja, maka globalisasi telah menjadikan fisik dan non fisik sebagai skat tidak relevan. Karena globalisasi merupakan keniscayaan yang hadir sebagai fenomena besar dalam kehidupan yang tidak bisa dibendung.

Oleh sebab itu, muharrik NU disemua level era kepemimpinan KH. Miftachul Akhyar dan Gus Yahya, memiliki pemahaman terhadap globalisasi tidak bisa ditawar. Sebagaimana pergulatan NU ketika dilahirkan pada 1926 M bukan dengan aparat desa atau kelompok pemberontak dalam negeri, justru menjadi peletak dasar pembebasan penjajahan oleh belanda dan jepang diatas bumi nusantara menjadi potret pergulatan NU dikancah internasional.

Tidak sampai disitu, para Kiai-kiai muassis NU seprti Syekhona Kholil Bangkalan atau Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy'ari sendiri sangat memahami peta global. Meski sudah Alim Alamah di Nusantara, beliau-beliau tetap melewatkan rihlah ilmiyah dikancah global dan terbukti menjadi pengajar di makkah al mukarromah. Hal ini menandakan bukan soal legitimasi bagi muhaarik NU harus melawati rihlah ilmiah keluar negeri, namun hal itu menjadi satu bacaan terhadap membaca globalisasi yang menjadi tatangan masa depan NU.

Alhasil, Memaknai Kehadiran Nahdlatul Ulama ketika didirikan. Saat itu Nusantara berada di bawah penjajahan Belanda, atau delapan tahun setelah Perang Dunia Pertama, pada 1926, atau 1344 H menjadi tonggak peradaban bangsa dan dunia. Melalui kacamata sekarang, kita bisa mengatakan bahwa cita-cita pendirian NU adalah cita-cita peradaban. Dunia sedang mengalami penyusunan ulang, demikian pula pola-pola hubungan antarnegara dan antarbangsa, demikian pula peradaban baru dan NU hadir untuk menjadi penentu sebagai rahmat semesta alam.

Oleh karena itu, menyongsong Konferensi Cabang (Konfercab) Ke 19 PCNU Kota Pekalongan semua kader dan aktifis NU sangat mengharapkan nahkoda sekaligus pemimpin seorang muharrik NU yang betul-betul memahami Jam'iyyah dan mampu memetakan perubahan kontruksi di organisasi Nahdlatul Ulama untuk meneruskan pencapaian kepemimpinannyang telah seukses diukir oleh para pengurus terdahulu dalam menyongsong masa depan NU di Kota Pekalongan.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan taufiqnya kepada kita semua.

Muhammad Ilman Nafia, MH.,

Ketua Lakpesdam PCNU Kota Pekalongan dan Instruktur Wilayah PD-PKPNU.

Update Berita Lainnya  : Menjaga Marwah, Menghormati Forum Tertinggi Jam'iyyah