Menjaga Marwah, Menghormati Forum Tertinggi Jam’iyyah

Tantangan Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terbesar di Republik Indonesia bahkan Dunia

Abdul Azim, Wakil Sekretaris PCNU Kota Pekalongan

5/24/20254 min baca

nubatik.org - Tantangan Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terbesar di Republik Indonesia bahkan dunia adalah bagaimana senantiasa menjaga marwah dan menghormati keputusan forum tertinggi baik Muktamar PBNU, Konferensi di tingkat Wilayah, Cabang dan MWC serta Musyawarah di tingkat Ranting dan Anak Ranting. Berjalannya waktu tantangan untuk menjaga marwah ini tidak bisa dilepaskan karena akan sangat berkaitan dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia, pasca reformasi dengan dibukanya keran demokrasi yang hingga sekarang sudah disebut demokrasi super liberal, menjadikan forum tertinggi Nahdlatul Ulama dalam setiap tingkatan hingga Badan Otonom, ibarat wanita cantik yang menjadi rebutan untuk di intervensi lintas kepentingan di dalam forum tersebut.

Dalam sejarah organisasi yang memiliki tujuan untuk manjaga agama Islam madzhab ahlussunnah wal jama’ah (diniyah) serta sosial kemasayarakatan (ijtimaiyah) sejak didirikan hingga sekarang tidak pernah lepas sebaagai penjaga utama, benteng terkokoh dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaiamana pidato Ketua Umum PBNU Gus Yahya, “bahwa slogan NKRI Harga Mati bukanlah sekedar slogan. Apapun kondisi dan keadaannya, NKRI adalah markas perjuangan peradaban Nahdlatul Ulama, maka menjaganaya adalah sebuah kewajiban” (disampaikan dalam konsolidasi Instruktur PD-PKPNU di Ponpes Al Itqon Bugen Semarang).

Hal ini tidak bisa dilepaskan sejak era penjajahan Belanda, Jepang, ke-Merdeka-an, Agresi Militer Belanda ke 2, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga era Demokrasi, tidak ada alasan Nahdaltul Ulama untuk tidak menjaga NKRI tercinta. Hanya saja perubaan sistem pemerintahan ini menjadikan perbedaan cara dalam menjalankan atau perjalanan Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah. Singkatnya di era demokrasi liberal dimana agenda lima tahunan Pemilihan Umum, memilih pemimpin tidak lagi memilih “sosok” namun lebih memilih karena uangnyaa. Ketika sudah jadi pemimpin bagaimana terus menerus menjaga kelanggengan kekuasan dengan berbagai macam cara. Maka secara tidak langsung Nahdlatul Ulama sebagai organisasi terbesar akan menjadi bagian yang akan dipengaruhi oleh kekuasaan (pemerintahan) yang bertujuan utnuk melanggengkan kuasa.

Terlebih dalam AD/ART Nahdlatul Ulama pasal 42 ayat (1) disebut pemilihan dan penetapan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama,

a. Rois Syuriyah dipilih langsung melalui musayawarah mufakat dengan sistem Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA)

b. AHWA terdiri dari 5 orang yang ditetapkan secara langsung dalam konfercab

c. Kriteria ulama yang dipilih menjadi AHWA adalah beraqidah Aswaja Annahdliyah, bersikap adil. ‘alim, memiliki integritas moral, tawadlu, berpengaruh, dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzim, muharrik, serta wara’ dan zuhud.

d. Ketua dipilih langsung oleh peserta melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara, menyampaikan kesediannya dihadapan musyawirin serta mendapat persetujuan dari Rois Syuriyah terpilih.

Dalam aturan tersebut di tingkat cabang, dalam pemilihan Rois Syuriyah betapa berat syarat yang dimunculkan sehingga butuh pertimbangan yang matang dan kesepakatn bersama para Ulama yang tergabung dalam AHWA. Berbeda dengan Rois Syuriyah, pemilihan ketua tanfidziyah tingkat cabang dipilih langsung oleh MWC, hal ini bisa menjadi celah oleh orang yang memiliki kepentingan guna menempatkan (orangnya) terkhusus di ketua karena dipilih langsung sehingga bisa diintervensi kepentingan oleh (penguasa/orang yang punya jabatan). Praktik forum tertinggi Nahdlatul Ulama tidak semerta-merta membawa idealisme guna menjalankan agenda-agenda Nahdlatul Ulama, namun seringkali hal tersebut sangat beririsan dengan kepentingan penguasa/orang yang mempunyai jabatan guna tujuan mengendalikan dan melanggengkan kekuasaan. Sejarah yang paling terekam dalam memori warga nahdliyin adalah saat Muktamar Cipasung dimana intervensi Presiden Soeharto begitu kuat namun muktamirin masih memiliki kekuatan sehingga KH. Abdurrahman Wahid terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU. Di era pasca reformasi yang masuk dalam demokrasi liberal ini betapa intervensi pihak lain tampak begitu kuat dan merata.

Ketika praktik yang terjadi dalam forum tertinggi Nahdlatul Ulama demikian, maka akan sangat rentan terhadap konflik (conflic of interest) dalam menjalankan agenda dan program hasil musyawarah di sidang komisi yang sudah di plenokan dalam konfercab. Selain itu dalam pemilihan langsung oleh musyawirin sehingga muncul para calon ketua, hal ini juga akan menyisakan luka bagi yang tidak berhasil mendapati suara terbanyak dalam forum tersebut. Serta masalah-masalah lain yang ditimbulkan karena tentu akan berpengaruh dalam menjalankan jam’iyah selama masa khidmah berlangsung. Sebagaimana contoh ketika proses forum tertinggi yang menjadi sponsor utama adalah pemerintah setempat atau tokoh politik, bukan berarti dalam menjalan jam’iyah kemudian pengurus tidak memiliki idealisme hingga mbebek dengan kepentingan politik tertentu atau kepentingan penguasa.

Butuh kesadaran yang mendalam bahwa di Nahdaltul Ulama, pemimpin dipilih atas kepercayaan kepada sosok kader ideal yang telah berproses dengan matang, yang telah diketahui sepak terjang dan kemampuannya serta faktor-faktor lain sehingga pemimpin tersebut layak menjadi Ketua Nahdlatul Ulama. Bukan sekedar memilih karena ada sesuatu (un syaiun) yang menginggalkan idealisme serta atas kepentingan sesaat.

Dalam forum tertinggi di Nahdlatul Ulama, baik Muktamar, Konferensi (Wilayah, Cabang dan MWC), serta Musyawarah (Ranting dan Anak Ranting) harus dijalankan dengan penuh keseriusan, mengikuti apa yang sudah dipedomani dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, Peraturan perkumpulan dan AD/ART. Keseriusan itu juga harus ada pada isi materi-materi dalam persidangan baik Komisi Bahtsul Masail, Komisi Organisasi, Komisi Program dan Komisi Rekomendasi. Laporan pertanggung jawabannya sampai pada pemilihan Rois Syuriyah dan Ketua tanfidziyah. Semua proses itu harus dibarengi kesadaran penuh untuk memajukan jam’iyah jangan hanya sekedar datang menjalankan rutinitas dan formalitas, atau bahkan terjebak oleh kepentingan-kepentingan pihak yang akan merusak marwah jam’iyah. Sehingga keputusannya tidak diperhatikan menjalankannya penuh dengan konflik, dan segenap masalah yang mengitarinya.

Marwah jam’iyah ulama terbesar didunia ini harus dijaga dengan sebaik mungkin, mempertahankan idealisme dengan selalu beradaptasi terhadap realitas. Juga bagaimana seluruh pengurus menghormati forum tertinggi jam’iyah, karena keputusan forum tertinggi itu yang akan menentukan perjalanan selama masa khidmat berlangsung. Syahdan, apapun masalah dan dinamika yang terjadi penulis percaya bahwa Nahdlatul Ulama adalah jam’iyah keramat yang didirikan oleh para Wali (Ulama Khos) yang tentu akan selalu dijaga oleh Allah SWT, akan sesuai dengan tantangan zaman dan segenap problematikanya hingga hari kiamat tiba.

Editor : Atho' & Tim LTN-NU

Update Berita Lainnya : Geliatkan Publikasi Kemanusiaan, PCNU Kota Pekalongan kirim 2 kader ikuti Jurnalistik Filantropi